Monday, August 16, 2004

Program Hitam-Putih Supersemar – Trans TV: Dua Jenderal "Menodong" Presiden Soekarno Agar Tandatangani Supersemar?

JAKARTA (TransTV):
Program Hitam-Putih TransTV, pada 10 dan 11 Maret
2004 tengah malam, akan menayangkan laporan khusus
tentang peristiwa nasional bersejarah, yang hingga
saat ini masih menjadi kontroversi. Yaitu, soal
keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar),
yang telah memberi jalan bagi Letjen Soeharto untuk
secara bertahap mengikis dan menyisihkan kekuasaan
Presiden Soekarno, dan akhirnya menaikkan Soeharto ke
kursi Presiden. Ini menjadi awal era Orde Baru,
sebelum akhirnya digusur oleh gerakan reformasi Mei
1998.
Kontroversi Supersemar antara lain tentang apakah Bung
Karno dipaksa untuk menandatangani dokumen, yang
praktis berarti alih kekuasaan tersebut. Soeharto
dengan piawai telah membubarkan PKI dan memecat,
menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh pendukung Bung
Karno, dengan Supersemar itu.
Dalam laporan khusus ini, TransTV mewawancarai Letda
Soekardjo Wilardjito, anggota Security DKP (Dinas
Kawal Pribadi) Presiden Soekarno, yang pada pukul
01.00 dinihari, 11 Maret 1966, melihat pertemuan empat
jenderal dengan Presiden di Istana Bogor. Empat
jenderal itu adalah: Basuki Rachmat, Maraden
Panggabean, M. Yusuf dan Amirmachmud. Mereka meminta
Bung Karno menandatangani dokumen dalam map merah.
Soekarno sempat menyatakan keheranan, karena surat itu
berkop surat militer, bukan kop surat kepresidenan.
Tetapi, Basuki Rachmat mengatakan, “Untuk mengubah,
sudah tak ada waktu.”
Lalu, “Panggabean cabut pistol. Belum sempat
ditodongkan, Pak Basuki Rachmat juga ikut cabut
pistol. Saya langsung cabut pistol juga. Saya
todongkan pada Jenderal. Tapi rupanya Presiden tidak
menghendaki pertumpahan darah dan melarang dengan
tangan kirinya,” kata Wilardjito.
Panggabean adalah mantan Ketua DPA Jenderal (Purn)
Maraden Panggabean, yang saat itu menjabat Ketua Tim
Umum bentukan Soeharto. Nama Panggabean selama ini
memang tak tercantum dalam sejarah Supersemar. Selama
ini, sejarah “resmi” Supersemar hanya menyebutkan tiga
Jenderal –Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amirmachmud--
yang menghadap Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966.

Penodongan Soekarno Versi Wilardjito

Semuanya berawal, saat Wilardjito mendapat giliran
dinas malam di Istana Bogor pada 10 Maret 1966. Hari
itu, Bung Karno tidur sekitar jam 24:00. Satu jam
kemudian, datanglah empat jenderal tersebut.
Wilardjito mengaku, dialah yang mengetuk pintu kamar
Presiden Soekarno untuk memberitahu kedatangan mereka.
Presiden kemudian menerima empat enderal tersebut di
ruang kerjanya.
“Presiden masih memakai piyama. Saya 3 meter di
belakang Presiden. Cuma yang saya lihat itu kok
kertasnya bukan kertas kepresidenan gitu lho. Itu kok
saya liat kopnya di kiri atas. Kok seperti kop MABAD
(Markas Besar TNI-AD) gitu,” kata Wilardjito.
Namun kesaksian Soekardjo Wilardjito dibantah Pusjarah
TNI. Menurut Wakil Kepala Pusat Sejarah TNI Kolonel R.
Ridhani, Panggabean tak pernah datang ke Istana Bogor.
“Apalagi soal penodongan. Itu yang antara lain
dibantah Pak Jusuf. Nodong pake apa, katanya. Pistol
saja tidak bawa. Jangankan pistol, senjata kecil
apapun juga kita tidak bawa (menirukan Jenderal
(Purn.) M. Jusuf, red.). Semua jenderal-jenderal itu
adalah kesayangan Bung Karno. Tak mungkin berlaku
kurang ajar terhadap Bung Karno,” kata Ridhani.
Tapi sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Asvi Warman Adam punya pedapat lain soal cerita
Wilardjito. “Mungkin saja, kalau tanggalnya itu bukan
tanggal 11 Maret. Tanggal 10 Maret, mungkin saja ada
beberapa orang yang datang ke Istana Bogor. Karena
kalau tanggal 11, ada beberapa saksi lain yang
mengatakan hanya tiga orang jenderal. Tapi kalau
sebelumnya sudah ada upaya yang sama, itu menurut saya
sangat masuk akal,” kata Asvi.

Saksikan di TransTV, 10 dan 11 Maret 2004

Kesaksian Soekardjo Wilardjito dan saksi lain,
bantahan Kolonel R. Ridhani, pendapat Asvi Warman
Adam, serta penelusuran naskah asli Supersemar, dapat
Anda saksiksan lengkap dalam program Hitam Putih –
“Supersemar: Sukarela atau Kudeta?” yang ditayangkan
TransTV pada Selasa, 10 Maret pukul 23.30-24.00 WIB,
dan Rabu, 11 Maret 2004 jam 24:00 WIB (sesudah acara
dialog Kupas Tuntas).
Hitam Putih adalah program dokumenter Trans TV, yang
mengulas berbagai peristiwa bersejarah, yang dianggap
punya dampak penting dalam sejarah nasional.
Sebelumnya, Hitam Putih pernah mengangkat tema
Peristiwa G30S 1965, yang memakan banyak korban. Kali
ini, tema Supersemar dipilih karena banyak hal
kontroversial tentang Supersemar tersebut, dan dampak
keluarnya Supersemar, yang membalikkan kondisi politik
Indonesia, dan menjadi awal rezim Orde Baru.
Hitam Putih – “Supersemar: Sukarela atau Kudeta?” akan
dipandu langsung oleh Riza Primadi, yang sehari-hari
menjabat Direktur Pemberitaan TransTV. Executive
Producer: Iwan Sudirwan, Sulaeman Sakib. Producer:
Satrio Arismunandar. Producer Assistant/Cameraman:
Budi Afriyan. Reporter: Riza Primadi. Researcher: Ami
Melanrosa. *** (ponco/rio)

Thursday, August 12, 2004

Membedah Terorisme Hingga Bom Bali

Judul Buku : Terrorism, The New World War
Penulis : Llyod Pettiford & David Harding
Penerbit : Arcturus Publishing Ltd, Leicester, 2003
Tebal : 239 halaman

Di tengah banyaknya buku tentang terorisme, khususnya sejak serangan yang meruntuhkan gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York, 11 September 2001, buku ini tampaknya termasuk yang paling baru. Terbukti, dalam bahasannya, ia sudah mencakup kasus ledakan bom di Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002, yang memakan korban lebih dari 200 jiwa dan sebagian besar warga asing.
Tampaknya ada nuansa personal dan kemanusiaan, yang ikut mendorong penulisan buku ini. Dalam bukunya, Pettiford dan Harding menyebutkan rasa kehilangan, akibat tewasnya seorang kawan dalam serangan ke gedung WTC, serta tewasnya seorang kawan lain dari kawannya dalam kasus bom Bali.
Secara umum, buku ini bertujuan memberi pegangan yang cukup komprehensif tentang terorisme, dengan mengulas secara jelas sejarah aksi terorisme, evolusinya, dan munculnya terminologi terorisme tersebut. Paparan ini masih dilengkapi dengan biografi kelompok-kelompok teroris, individu teroris, dan rincian aksi teroris yang dilakukan perseorangan.
Dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, Pettiford dan Harding tidak menutup mata tentang kesulitan dalam mendefinisikan terorisme, dan siapa yang pantas disebut teroris. Seorang yang disebut teroris oleh satu pihak, mungkin akan disebut pejuang kebebasan oleh pihak lain. Sulit melihat hal ini secara hitam-putih.
Pemimpin Palestina, Yasser Arafat, yang dikutip di buku ini, menyatakan: “Perbedaan antara kaum revolusioner dan teroris terletak pada alasan yang mereka perjuangkan. Siapapun yang memiliki alasan yang benar, dan berjuang bagi kebebasan dan kemerdekaan tanahnya dari penjajah, pemukim dan kolonialis, agaknya tidak dapat disebut teroris.”
Persoalannya, bagaimana kita bisa merasa pasti bahwa kita adalah pihak yang benar? Yang “benar” itu bisa berbeda-beda, tergantung pada posisi atau prasangka seseorang. Yang “benar” itu bisa berarti: kapitalisme, sosialisme, Islam, anti-aborsi, anti-pemerintah, dan sebagainya. Pertanyaan lebih lanjut, andaikata alasan itu benar, apakah hal itu juga boleh dijadikan dasar untuk melakukan apa saja?

Terorisme Negara

Kerelatifan ini diperumit oleh kenyataan bahwa sejarah cenderung ditulis oleh mereka yang menang dan berkuasa. Dalam hal sejarah ini, tentu termasuk pula definisi tentang terorisme dan siapa yang pantas dimasukkan dalam daftar teroris.
Pettiford dan Harding membuat perumpamaan sederhana. Jika yang menjadi pemenang dalam Perang Dingin adalah Uni Soviet, dan bukan Amerika Serikat, sejarah jelas akan ditulis secara berbeda. Atau, jika kelompok Al-Qaeda menjadi pemenang dalam “perang melawan terorisme” yang dilancarkan Amerika, tentu serangan terhadap gedung WTC tidak akan disebut aksi terorisme. Contoh yang paling jelas adalah Nelson Mandela, yang oleh rezim apartheid Afrika Selatan pernah disebut sebagai teroris, tetapi kini ia diakui sebagai “bapak bangsa.”
Maka, untuk menghindari kerumitan definisi ini, secara sederhana penulis mendefinisikan aksi terorisme sebagai aksi serangan terhadap warga sipil. Meski definisi operasional ini terlalu umum dan mungkin kurang memuaskan, penulis menggunakannya untuk membuat uraian lebih lanjut.
Salah satu nilai plus buku ini adalah kedua penulis tidak terjebak pada definisi resmi Departemen Luar Negeri Amerika, yang seolah-olah menganggap terorisme hanya dilakukan oleh kelompok atau perseorangan. Terorisme diakui penulis, juga bisa dilakukan secara sistematis oleh negara, dan Amerika ikut bertanggungjawab dalam hal ini.
Kekurangan buku ini, penulis tampaknya masih setengah-setengah dalam uraiannya. Ketika membuat daftar kelompok teroris di Asia, yang dimasukkannya adalah: Liberations Tiger of Tamil Eelam (Sri Lanka), Harakat Ul-Mujahadin (Pakistan), Jaish e-Mohammed (Pakistan), Abu Sayyaf Group (Filipina), Islamic Movement of Uzbekistan (Uzbekistan), Kurdistan Workers Party (Turki), Revolutionary People’s Liberation Party atau Dev Sol (Turki), dan Japanese Red Army (Jepang).
Tidak ada uraian tentang Jemaah Islamiah (JI), padahal di ulasan tentang bom Bali, ia menyebut JI sebagai tersangka pelaku. Juga tak ada uraian tentang aksi kelompok komunis Filipina dan kelompok militan Sikh di India. Padahal penulis sendiri menyebutkan, “perjuangan kaum teroris di Asia sebagian besar berpusat di India” (hal. 75). Tidak ada penjelasan tentang kevakuman ini, apakah sekadar karena kekurangan data, atau karena kelompok-kelompok ini memang tidak dianggap penting.
Dengan beberapa kekurangan tersebut, bagaimanapun karya Pettiford dan Harding ini cukup menarik dan bermanfaat. Sistematikanya yang sederhana dan uraiannya yang runtun, akan memudahkan pembaca –yang relatif awam sekalipun—untuk memahami terorisme. Sebagai pegangan awal tentang terorisme, buku ini layak dibaca. ***

Satrio Arismunandar, alumnus Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia, dan pengurus pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).